Bencana banjir bandang yang melanda wilayah Gayo Lues, Aceh, meninggalkan duka dan kepiluan mendalam bagi ribuan warga. Sungai meluap, jembatan tersapu banjir, tebing-tebing runtuh, dan desa-desa di pedalaman terputus total dari dunia luar. Di tengah kondisi darurat itulah, satu langkah kecil dapat menjadi harapan besar. Dan harapan itu datang dari arah paling sunyi: dari jejak kaki seorang relawan.
Pada tanggal 3 Desember 2025, seorang relawan SAR KMPLHK RANITA UIN Jakarta, Mahmudin “Boter” Ido, memulai perjalanan yang tidak biasa—perjalanan yang menuntut ketahanan fisik, keteguhan mental, dan keberanian hati. Misi yang diemban sederhana namun berat: mendistribusikan bantuan menuju Desa Pasir Putih, salah satu titik paling ujung dan paling terisolir di Kecamatan Pining.
Namun jalan menuju ke sana bukan sekadar jalur menanjak atau licin. Jalur itu telah hilang—secara harfiah.
Jalur Terputus, Jembatan Hilang, dan Pilihan yang Tersisa: Berjalan Kaki
Akses utama menuju Kecamatan Pining putus total. Jalan mobil tidak lagi layak dilalui; sebagian tertimbun longsor, sebagian longsorannya masih aktif, sebagian lagi berubah menjadi sungai kecil akibat aliran air baru yang terbentuk pasca banjir bandang. Jembatan penghubung ke Pining hanyut terbawa arus, menyisakan lubang menganga yang mustahil dilintasi kendaraan apa pun.
Pilihan yang tersedia hanya satu: masuk melalui jalur darat non-resmi, memotong hutan, menyeberangi sungai, dan berjalan kaki sejauh ±55 kilometer.
Perjalanan itu diperkirakan memakan waktu dua hari satu malam. Tapi itu bukan sekadar perjalanan fisik—itu adalah perjalanan kemanusiaan.
Langkah Pertama Menuju Sunyi
Mahmudin “Boter” Ido membawa paket sembako dan perbekalan dasar untuk warga yang telah berhari-hari terputus dari distribusi bantuan. Informasi dari warga menyebutkan bahwa kondisi di Pasir Putih dan sekitarnya mulai kritis. Pangan menipis, akses kesehatan tidak tersedia, dan komunikasi terputus.
Dengan membawa logistik seadanya dan perlengkapan bertahan hidup, relawan memulai perjalanan dari batas Kecamatan Pining.
Setiap langkah menjadi saksi tentang betapa beratnya medan:
- tanah berlumpur setinggi mata kaki
- batuan licin tertutup lumut
- pohon tumbang berserakan
- suara runtuhan kecil dari atas tebing
- aroma tanah basah sisa longsoran
Dibeberapa titik, jalan hilang sama sekali. Tidak ada lagi yang tersisa untuk disebut jalur. Hanya hutan lebat dan jejak samar aliran banjir.
Menginap di Tengah Kebun – Di Rumah Warga yang Tersisa
Saat sore tiba, perjalanan dihentikan. Jalur mulai gelap dan berbahaya. Relawan akhirnya menginap di salah satu rumah warga yang berada di tengah hutan antara Desa Uring dan Desa Pepelah.
Rumah sederhana itu menjadi tempat berteduh sementara, tempat mengisi tenaga, sekaligus tempat mendengar langsung kesaksian warga.
Mereka bercerita tentang gemuruh banjir bandang yang datang tanpa ampun. Tentang jembatan yang patah. Tentang suara tangis anak-anak yang ketakutan. Tentang warga yang terpaksa bertahan di titik-titik aman dengan makanan yang semakin menipis.
Setelah istirahat beberapa jam, pagi hari membawa harapan baru. Relawan kembali melanjutkan perjalanan.
Menyeberangi Sungai Tanpa Jembatan
Perjalanan hari kedua membawa tantangan yang lebih berat: menyeberangi sungai besar tanpa jembatan.
Sungai yang biasanya tenang kini berubah menjadi arus deras, dingin, dan keruh. Hanya dengan tali pengaman sederhana dan bantuan warga sekitar, relawan berhasil menyeberang satu per satu—membawa logistik yang harus dilindungi dari air.
Setelah menyeberangi sungai, perjalanan memasuki fase terakhir: memasuki jalur menuju Desa Pasir Putih, desa yang berada di paling ujung Kecamatan Pining.
Tiba di Pasir Putih – Harapan dari Jejak Kaki
Sore hari, setelah perjalanan panjang yang menguras fisik dan emosi, akhirnya relawan tiba di Desa Pasir Putih. Warga menyambut dengan mata berkaca-kaca. Mereka tahu, kehadiran seorang relawan bukan hanya tentang bantuan sembako, tetapi tentang pesan bahwa mereka tidak sendirian.
Bantuan langsung disalurkan kepada warga yang paling membutuhkan. Mereka menerima dengan rasa syukur yang dalam, di tengah kondisi desa yang masih menyisakan bekas-bekas bencana: lumpur tebal, rumah rusak, dan jalan yang hancur.
Keberhasilan menembus desa terisolir ini menjadi bukti bahwa langkah kecil seorang relawan dapat menjadi cahaya besar bagi sebuah desa.
Jejak Kaki yang Menguatkan Indonesia
Perjalanan 55 kilometer, berjalan kaki selama dua hari satu malam, menembus hutan, menyeberangi sungai, dan melewati longsor, bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah bukti nyata dari keikhlasan, kesigapan, dan ketangguhan relawan RANITA UIN Jakarta.
Dalam setiap langkah Mahmudin “Boter” Ido, ada pesan kuat:
Bahwa kemanusiaan selalu menemukan jalan, bahkan ketika semua jalan telah hilang.
Dan dari Pasir Putih, Aceh, kita belajar satu hal:
Bersama, kita selalu bisa saling menguatkan.
Gayo Lues, Aceh — 03 Desember 2025
Relawan SAR Ranita UIN Jakarta : Mahmudin “Boter” Ido


.png)
.png)
.png)
.png)

.png)